Toxic Positivity : Kalimat yang Memaksa Diri untuk Pura-pura Bahagia

 Pernah nggak kalian cerita tentang masalah kalian ke teman atau siapapun itu dan jawaban mereka “kamu harus tetap positif, diluar sana masih banyak yang nggak seberuntung kamu!” . Atau mungkin orang lain cerita ke kamu dan kamu memberikan jawaban seperti itu.

“Harus tetap positif dong!” Kalimat tersebut mungkin sudah ngga asing di telinga kita ketika sedang berbagi cerita ke orang lain. Alih-alih mendapat dukungan, tak jarang balasan yang di dapatkan justru malah memaksa kita untuk menyembunyikan emosi negative tersebut.

Nah, hal itu yang biasanya disebut sebagai Toxic positivity .

 

Apa Itu Toxic Positivity?


Toxic Positivity adalah ketika seseorang menggunakan pemikiran positif secara berlebihan untuk menyikapi setiap keadaan. Seakan-akan itulah satu-satunya cara menjalani hidup.

Toxic positivity datang ketika kita yang tadinya berpikiran positif saat sedang dalam suatu masalah, tapi mengabaikan emosi kita yang justru menjadi racun karena terlalu sering memendam perasaan negative.

Berpikiran positif itu sangat baik, tapi beda cerita ketika pikiran positif menjadi terlalu berlebihan, akhirnya hal itu berubah jadi toxic. Entah itu diciptakan untuk kita sendiri, kita ciptakan untuk orang lain, atau bahkan yang kita dapatkan dari orang lain.

 

Mengapa Toxic Positivity Bisa Berdampak Negatif?

Berusaha untuk selalu berpikir positif juga berarti berusaha untuk menyangkal emosi negatif yang hadir atau berusaha untuk menolak perasaan kita yang sebenarnya. Dengan kata lain, kita hanya menerima hal-hal positif dalam hidup dan menolak hal-hal lainnya termasuk emosi negative. Faktanya, penyangkalan emosi tersebut dapat berdampak tidak baik.

Pernah mendengar ‘setiap orang menyikapi suatu hal itu berbeda-beda’?

Yap, tidak semua orang butuh disemangati saat mereka bercerita soal perasaan negative atau pengalaman buruknya. Sering kali, yang kita katakan menurut kita suatu hal yang positif, dan dapat memberi semangat untuk pembicara , padahal bukan itu yang sedang dibutuhkan orang yang sedang bercerita tersebut.

Saat kamu bilang “gapapa, jangan nyerah gitu dong!” bisa aja kalimat itu diterima dengan artian kamu nyuruh dia untuk melupakan kesedihannya dia, berpura-pura baik-baik aja, stay positive.

Kalau emosi-emosi itu disangkal atau dipendam demi terus terlihat positif atau bahagia di depan orang-orang, yang ada emosi negatifnya menumpuk, kemudian bisa memicu stres dan sakit psikis serta fisik alias psikosomatis.

Hal ini seperti suatu paradoks, ucapan-ucapan positif dihadapkan pada emosi negatif dapat menjadi racun bagi mereka yang menerimanya. Tak jarang, mereka yang sedang memiliki masalah akan menjadi lebih larut dalam emosi negatif ketika diberi dukungan dengan kalimat-kalimat positif yang tidak tepat. Hal tersebut dapat terjadi karena orang yang sedang memiliki masalah cenderung ingin dimengerti, tak cukup diberi simpati melainkan perlu ditunjukkan empati. Seharusnya kita bisa menjadi pendengar yang baik, bisa memvalidasi perasaan orang tersebut.

 

Ada yang Bisa Aku Bantu?

Perasaan-perasaan negative ngga selamanya buruk. Dengan kita jujur dengan perasaan kita, kita bisa lebih tau cara untuk merespon perasaan tersebut dan merespon keadaan saat itu.

Selain menerima emosi yang hadir, ada baiknya juga kita menggunakan kata-kata yang tepat untuk memberikan dukungan kepada mereka yang sedang mengalami masalah. Dari yang pada awalnya “Tetap positif!” diganti menjadi “Terkadang segala sesuatu memang tidak terjadi sesuai yang kamu harapkan, ada yang bisa aku bantu?”

Selain itu, cobalah untuk tidak membandingkan pengalaman orang yang sedang bercerita dengan pengalaman yang kita miliki, “Ah kamu baru segitu..aku pernah mengalami yang lebih buruk!” diganti dengan “Sepertinya kamu mengalami hal berat saat ini ya. Tapi aku dan kamu sama-sama pernah melewatinya, jadi kita akan melewatinya lagi.”

Ada kalimat-kalimat lain yang lebih tepat untuk menghindari toxic positive. Maka dari itu, cobalah untuk menjadi pendengar, bisa memvalidasi perasaan orang lain, dan berhenti menyebarkan toxic positivity.


 “Everything worthwhile in life is won through surmounting the associated negative experience. Any attempt to escape the negative, to avoid it or quash it or silence it, only backfires. The avoidance of suffering is a form of suffering. The avoidance of struggle is a struggle. The denial of failure is a failure. Hiding what is shameful is itself a form of shame.”

Mark Manson, The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life


 

 

 


 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROCRASTINATION : Nunda terus, kapan selesainya?

Empathy Gap : Mengapa orang gagal memahami perspektif yang berbeda